“Apakah mereka harus mati, untuk membawaku kembali? bukankan aku tidak kemana-mana? ataukah sudah sedemikian tegar tengkuk-kah aku hingga mereka harus mati??? mengapa perlu demikian banyak jiwa? untuk membawa ku kembali memuliakanMU?? ujian untuk kebaikanku-kah, untuk menjadikanku lebih baik? untuk keselamatan jiwakukah??” sesal-ku ketika mendapat kabar kecelakaan kerja yang mengakibatkan 7 orang korban meninggal.
“Jangan melihat jumlah korban, jangan berprasangka, kita tidak tahu” kata seorang teman
Ya berprasangka itulah default manusia, paling mudah untuk mengarang cerita, lari bersembunyi dari fakta, sulit untuk membuka mata melihat yang sebenarnya terjadi, takut menghadapi dengan jujur.
Tragedi, musibah besar, angin badai menerjang melalah luntukkan yang di temuinya, demikian besar, demikan dahsyat hingga mampu memisah kan tubuh dengan jiwa, memisahkan jiwa dengan roh..
Seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, setelah satu kejadian, di susul serentetan kejadian bersamanya, membuat ketakutan, paranoid, bersiap sedia menantang ayoo cepet, apa dan siapa lagi yang mau datang, sekalian bila mau meremukkan, tantangan putus asa yang kosong di lontarkan dengan lutut bergetar ketakutan.
Ketika melihat kemacetan di depan kantor, bisa menggigil berprasangka adakah lagi yang menjadi korban kecelakaan??
Ketika suami pergi keluar kota seperti biasa, merengek-rengek untuk membatalkan niatnya, ketika niat tak bisa dicegah, memohonnya untuk memakai sopir, tuakut ada apa-apa di jalan..
Tuhan bila menguji hingga batas kekuatan, wow.. firman yang melegakan sekaligus menakutkan.
Mencari jawaban setiap persoalan dalam alkitab, tetap tak terjawabkan..
Prasangka demi prasangka, membuat busuknya luka.
Ketika sudah diambang batas, tidak tahu lagi harus melakukan apa, selain berserah, seleh, tidak ada lagi yang harus dipertahankan, pasrah. Saat itulah prasangka tidak lagi nyengir menantang, ketakutan hanya muncul bila ada berita, kegelisahan jiwa berlalu dengan lewatnya waktu. Ya waktu adalah saat jeda yang di perlukan untuk mengeringkan luka. Berbekas tapi tidak sakit lagi. Teringat dan tak terlupakan, tetapi berbeda rasa..
Ada cerita, beberapa hari setelah pulang dari Jogja. “Tahu nggak, waktu lewat U Turn di ring road utara, tidak ada sign U turn, ada truk riting kiri, aku salib sebelah kanan, tiba-tiba truk ke kanan ternyata mau belok balik arah, terpaksa mobil aku balik arah ngikut truk hingga masuk jalur lawan, truk berhenti, mobil aku balik lagi melawan arus dan kembali ke jalur awal. Gila, hampir celaka” cerita my bojo dengan nada biasa.
Cerita biasa membuat-ku menangis minta ampun. Tuhan tidak diam. Ada banyak hal yang kita tidak tahu, yang harus kita syukuri. DIA luputkan kecelakaan, untuk menolong Joli. Dibalik musibah ada banyak cerita positif, membuat mata melek, tak cukup waktu seharian tuk ucapkan syukur untuk kebaikan Tuhan.
Hari ini membaca buku “shack” personifikasi Allah dalam cerita novel
“Apakah hanya karena AKU membuat kebaikan2 setelah tragedi yang tidak terucapkan, tidak berarti AKU yang merancang tragedi itu. Jangan pernah berpikir bahwa jika AKU menggunakan sesuatu berarti AKU penyebabnya atau AKU memerlukan untuk melakukan kehendaKU. Kasih karunia tidak bergantung pada penderitaan. Namun dimana terdapat penderitaan kamu akan menemukan kasih karunia dalam banyak wajah dan warna”